Senin, 05 Maret 2012

Memaknai Kembali Demokrasi

Secara epistimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “demos” dan “kratos”, dimana demos artinya rakyat dan kratos berarti kekuasaan, jadi bila diartikan secara epistimologi maka demokrasi berarti kekuasaan rakyat. Konsep mengenai demokrasi sebenarnya merupakan konsep yang telah lama sekali ditemukan, yaitu pada abad ke 5 SM di Athen pada Negara kota Yunani kuno, namun penggunaan kosep ini mulai dipergunakan lagi pada zaman modern pada abad ke 18 hingga saat ini. Samuel P Huntington menyatakan bahwa sebagai suatu pemerintahan , demokrasi telah didefinisikan berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintahan. Hal ini ditambahkan oleh Schumpeter yang mengidentifikasikan demokrasi dengan instilah “kehendak rakyat ( the will of the people) “ (sumber) dan “ kebaikan bersama ( the common good ). (Samuel P Huntington, 4).
Banyak pemikir yang berusaha mengdefinisikan demokrasi dengan bahasa mereka sendiri. Definisi demokrasi yang paling terkenal mungkin adalah pengertian demokrasi oleh Winston Churchil, yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat. Sedangkan Thomas Meyer menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu system kekuasaan yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak azazi manusia dan penegakan hukum secara independen. Dimana Meyer selanjutnya menambahkan bahwa demokrasi merupakan system yang paling efektif dan ideal sebagai perlindungan terhadap penindasan Negara dan kekuasaan rakyat yang tidak terkendali. Memiliki rasa aman dari berbagai ancaman seperti penindasan, hilangnya kebebasan, pelanggaran terhadap kebutuhan kondisi fisik seseorang serta hak untuk mengungkapkan dan mempertahankan kepentingan hidup individu bersama-sama orang lain merupakan kebutuhan manusia  yang paling mendasar. Dan perlindungan dari hal-hal seperti itu, dikatakan Meyer sebagai suatu tujuan demokrasi sebagai Negara hukum.( Thomas Meyer, 1)
Demokrasi menemukan tempatnya saat masyarakat telah muak dengan sistem yang tidak merepresentasikan mereka, saat Negara yang bertugas melindungi dan mengayomi mereka justru berubah menjadi alat bagi kelas-kelas yang berkuasa untuk mencapai kepentingan mereka dan tidak adanya partisipasi public disana. Karena itulah muncul suatu gagasan bahwa rakyat harus menentukan nasibnya sendiri dan setiap keputusan yang dibuat merupakan kehendak bersama rakyat.
Dalam perkembangannya sistem demokrasi menjadi suatu gelombang besar pada tahun 1974,dengan tumbangnya pemerintahan diktator Portugal, menyusul 3 bulan kemudian rezim militer di Yunanipun mengalami nasib serupa disusul dengan berdirinya pemerintahan sipil yang demokratis di spanyol pada tahun 1974, gelombang tersebut berlanjut menyapu pemerintahan otoriter militer dan monarki kerajaan di wilayah Eropa selatan, Amerika Latin dan Asia. Selanjutnya gelombang demokratisasi berlanjut pada tahun 1980-an kali ini giliran Negara-negara komunislah yang disapu oleh gelombang demokratisasi. 1988, Hongaria menganut sistem multipartai, dan merembet kenegara-negara Baltik lainnya dan berakhir di Haiti pada tahun 1990. Selanjutnya pada dasawarsa 1990an demokratisasi juga kembali terjadi di Negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina (Samuel P Huntington, ibid 22-27). Dan baru-baru ini gelombang demokratisasi kembali terjadi, kali ini masyarakat sipil Negara-negara Timur Tengahlah yang meminta hak mereka akan kebebasan berpendapat dan mengatur diri mereka, peristiwa ini dikenal dengan sebutan revolusi melati yang bermula di Tunisia.

Demokrasi dan Realitas Hari Ini
Secara garis besar dapat kita nyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam perpolitikan suatu Negara, dan seluruh keputusan yang diambil oleh pemerintah haruslah representasi dari keinginan rakyat (collective decision) . Namun realitas yang ada tidaklah demikian. Demokrasi yang berkembang saat ini merupakan demokrasi yang berstandar ganda, hak-hak rakyat dikebiri dan Negara masih tetap menjadi alat bagi para kelas kapital untuk mencapai kepentingannya. Patricia Nanz dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa meskipun Negara-negara yang mengaku demokratis telah menerapkan beberapa prinsip-prinsip demokrasi seperti pemilihan umum, kebebasan menyampaikan pendapat dan berpolitik (Patrcia Nanz dan Jens Steffek, 3) . Partai-partai politik yang begitu banyak, LSM-LSM yang bergerak disegala bidang. Hal ini tidak menutupi bahwa sebenarnya rakyat begitu terasing dengan Negara. Rakyat memang memilih orang-orang yang akan mewakili mereka dipemerintahan melalui lembaga legislative ( atau sering kita sebut sebagai wakil rakyat yang akan bertugas di Dewan Perwakilan Rakyat), namun segala kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak melibatkan mereka dalam perumusannya, ironis mereka yang dulu diberikan amanah oleh rakyat untuk memimpin mereka justru berubah mejadi sosok yang eklusif dan tidak membumi (saya mersakan sendiri pengalaman ini saat ikut demonstrasi di kantor DPRD salah satu kota di Indonesia, saat itu tujuan kami hanyalah ingin berdialog dengan mereka yang mengaku “wakil rakyat”, namun tidak ada satupun dari mereka yang datang menemui kami, rakyat yang  memberikan amanah itu pada mereka).
Selain itu, faktor globalisasi menyebabkan Negara semakin lemah akibat semakin terintegrasinya semua faktor dengan Negara lain, dimana hal ini akan menyebabkan saling ketergantungan suatu Negara dengan Negara-negara lain, sehingga muncul suatu otoritas baru yang berada diatas negara yaitu rezim-rezim Internasional yang berbentuk instuitusi-institusi seperti IMF (International Monetery Fund) World Bank, WTO (World Trade Organization) karena itulah kebijakan yang dibuat oleh Negara seringkali didertiminasi oleh kepentingan rezim tersebut. Untuk mempermudah memahami hal ini mari kita ambil contoh dengan yang terjadi di Yunani saat ini, rakyat Yunani yang menderita akibat negaranya sedang megalami krisis dan diambang kebangkrutan justru mendapatkan kenyataan pahit dengan kebijakan pemerintah yang memotong anggaran dana sektor publik, karena mengikuti saran IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia.
Patrician Nanz menyatakan bahwa rezim internasional yang ada begitu terasing dari masyarakat suatu Negara. Dengan prosedur pengambilan keputusan yang tidak tertembus public dan hanya didominasi oleh diplomat,para birokrat dan staf-staf ahli. Mereka berkumpul dalam ruang tertutup dan tidak ada satupun kelompok yang kepentingan dilevel civil society yang hadir dan ikut serta dalam pertemuan tersebut. ( Patricia Nanz,i.bid hal 5).
Realitas demokrasi yang terjadi saat ini bukanlah demokrasi yang berasal dari bawah (masyarakat akar rumput) dimana kebijakan yang ada bukanlah rancangan rakyat melainkan para elit-elit birokrat (bahkan rezim internasional) sehingga rakyat hanyalah penonton dan wajib mematuhi (meskipun tidak terlibat dalam pembuatan) segala kebijakan tersebut ,tidak adanya ruang publik dalam mengambil kebijakan (meskipun ada hak masyarakat hanya untuk berbicara dan memilih dalam pemilihan umum), dan akses informasi yang sangat susah didapatkan.


Sebuah Otonomi atau Otoritas?

Kami katakan “CUKUP SUDAH!!” bagi mereka
yang ingin mengendalikan rakyat .
Elcommadante Samuel
-Zapatista-

Demokrasi yang bukan berasal dari akar rumput telah banyak mendapat tentangan saat ini. Pada tahun 1994 jutaan masyarakat adat Mexico memutuskan turun kejalan untuk menentang implementasi NAFTA (Noerth American Free Trade Area) yang akan menggusur tanah-tanah adat mereka protespun terjadi tepat dijantung pusat demokrasi dihembuskan, masyarakat Seattle turun kejalan untuk menentang keputusan pemerintahan Amerika yang menginvansi Irak, masyarakat Yunani memutuskan untuk kejalan dan memperjuangkan hak mereka sendiri, saat nasib mereka tidak lagi diperjuang oleh pemerintah yang memutuskan untuk mengorbankan mereka dengan pencabutan anggaran sector public karena kegagalan para bankir dan pialang saham mereka dalam berspekulasi. Selain itu gerakan-gerakan perlawanan juga terjadi diberbagai Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Filipina, Thailand, India, dan Indonesia.
Hal ini tentu membuat kita bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan sistem demokrasi saat ini. Kenapa suara-suara rakyat hanya berlaku saat pemilu dan tidak dalam perumusan kebijakan? Kenapa rakyat yang turun kejalan untuk menyuarakan suaranya justru dihadang oleh aparat-aparat keamanan Negara yang sebenarnya bertugas untuk menjaga keamanan mereka? Mengapa mereka yang berjalan bersama kegedung-gedung legislative untuk bertemu wakil mereka seringkali tidak digubris?
Untuk menjawab hal tersebut saya ingin membawa anda pada dua konsep kekuasaan yang dijabarkan oleh anarkisme (ups jangan berpikiran buruk dulu, anarkisme yang ingin saya jabarkan bukanlah situasi chaos dan tidak terkendali yang selama ini dilekatkan khalayak kepada paham ini. Namun lebih kepada konsep bagaimana membangun organisasi sosial tanpa hirarki, dan saya tidak mengajak anda untuk menghancurkan Negara saat ini J). Anakisme menyatakan ada dua konsep kekuasaan yang pertama adalah  otoritas (Authority), otoritas dapat dimaknai sebagai hak untuk menyuruh atau sebuah hak untuk dipatuhi, dalam bidang politik otoritas berarti memberikan kekuasaan penuh kepada institusi-institusi politik yang ada untuk mengontrol para anggota yang bernaung didalamnya . Inilah kekuasaan dari atas kebawah, dimana kita hanya memilih wakil kita dipemerintahan (perwakilan) dan merekalah yang akan membuat segala kebijakan dan mempunyai hak mutlak untuk dipatuhi.
Yang kedua adalah konsep otonomi, dimana rakyat akan menolak setiap peratruran yang bukan berasal dari mereka, konsep otonomi dapat kita katakan sebagai konsep bagaimana mengorganisir orang-orang disekeliling kita dan membentuk komunitas-komunitas kecil dimana komunitas tersebut akan mengatur diri mereka sendiri. Peraturan akan dibuat dalam rapat komunitas, dimana hak dan kewajiban suara seluruh orang adalah sama, tidak ada hirarki disini, semua orang adalah pemimpin dan seluruh orang dipimpin oleh kepentingan umum. Selanjutnya komunitas-komunitas tersebut akan berjejaring dengan komunitas lainnya dibawah satu payung federasi.
Melalui diskusi ini kami mengajak anda semua untuk memikirkan kembali demokrasi yang terjadi saat ini, apakah memang suitable untuk dipergunakan ataukah mesti kita kritisis kembali? (ato mungkin Negara Negara kita ganti aja ama federasi gan…supaya kita tidak dipukuli aparat saat memprotes para elit yang berlindung dibalik payung hukum dan stabilitas Negara)

Sumber bacaan:
Huntingtong, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta:Pt. Pustaka Utama Grafiti 1995
Marcos, Subcommadante. Kata Adalah Senjata, Yogyakarta: Resist Book 2006
Wolff, Robert Paul. In Defense of Anarchism,New York : Harper Colophon ,1970
Nanz,Patricia dan Jens steffek. Global Governance,Participation an The Public Sphere. UK: Black Wheel Publishing.2004

Catatan ini merupakan bahan pengantar diskusi Sekolah Pembebasan Magenta (SPAM)..