Sabtu, 02 Juli 2011

Sebuah Kisah Dari Rimba Kapitalisme


Jangan mengira masyarakat Pasaman Barat makmur. Begitulah kira-kira judul sebuah berita media online yaitu puaiiliggoubat.com  pada tanggal 9 Juni 2010[1]. Media itu menyatakan bahwa yang diuntungkan dengan dibukanya lahan sawit dengan menjual tanah ulayat masy setempat bukanlah masyarakat itu melainkan pemilik perusahaan dan pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari pemaparan Ujang alias zulkifli (35) salah satu masyarakat adat diPasaman Barat,seperrti yang dituturkan pada puaiiliggoubat.com :
Jangan salah menilai, yang kaya oleh sawit bukan warga Pasaman Barat, tapi tentara, polisi, dan para pejabat, termasuk bupatinya. Mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk menjaga kepentingan perusahaan, itulah yang makmur oleh sawit. Masyarakat? Tidak, mereka harus puas jadi budak perusahaan yang harus menghabiskan hari-harinya di kebun sawit sepanjang waktu dengan upah seadanya dan hutang yang terus menumpuk, selain membenturkan masyarakat dengan aparat, sehingga banyak anggota masyarakat yang terbunuh atau dipenjara, perusahaan juga tak segan-segan mengintimidasi penduduk. “Brimob bahkan membuka areal pelatihan di situ untuk menakut-nakuti masyarakat, selain polisi, tentara dan pejabat, perusahaan juga menggunakan preman-preman untuk mengawasi dan menjaga perusahaan dari protes masyarakat, apa makmurnya hidup begitu?”[2] Konflik tanahpun pernah membuat warga Pasaman Barat penyegel perusahaan sawit asal Malaysia yaitu PT.Laras Inti Nusa. Konflik disebakan oleh penyerahan tanah yang tidak beres. [3]
               Melalui pemaparan diatas maka dapat kita lihat penyebab konflik adalah adanya perubahan sistem berproduksi masyarakat setempat terhadap tanah ulayat. Jika kita sebut tanah ulayat adalah sebuah factor produksi masyarakat, maka sejak tanah tersebut telah dialih fungsikan kepada lahan sawit dan lahan sawit dimiliki oleh swasta,maka masyarakat setempat telah kehilangan haknya terhadap factor produksi, sebelumnya tanah ulayat merupakan suatu lahan pertanian yang digarap bersama-sama oleh kaum tersebut, dimana pembagian kerja didasarkan atas kemauan serta kemampuan dari masing-masing orang dalam kaum dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan kaum pemilik tanah tersebut maka kini konsep itu tidak bisa lagi dipakai. Karena saat lahan itu telah menjadi milik perusahaan swasta maka system berlaku adalah system kapitalisme. Kini perusahaanlah  yang menentukan berapa banyak orang dari kaum tersebut untuk dapat bekerja didalam kebun sawit tersebut. Masyarakatpun tidak bisa lagi bebas menentukan divisi kerja mereka, karena hal itu telah ditentukan oleh perusahaan, kini pembagiaan kerja adalah berdasarkan skill yang dimiliki , dan umumnya masyarakat setempat yang mempunyai latar belakang bertani dan sama sekali buta terhadap indusrti sawit akan menjadi buruh didalam perusahaan tersebut (karena dalam system kapitalisme para pemilik modal bebas untuk merekrut tenaga kerja darimanapun semau mereka, maka untuk teknisi industri mereka akan memilih untuk mengambil lulusan unversitas untuk menghemat modal dengan memberi pendidikan masyarakat setempat mengenai industri sawit)
               Mengenai upahpun, bila masyarakat biasanya membagi hasil dari tanah ulayat sesuai kesepakatan kaum (biasanya pembagian sama rata atau perbedaan pembagian tidak terlalu mencolok) kini upah mereka diatur oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Maka perusahaan akan memberikan upah hanya sekedar agar para buruhnya dapat bertahan hidup dan tidak menurunkan nilai kerja mereka untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Karena itulah masyarakat merasa tidak sepadan apa yang telah dia kerjakan dengan apa yang mereka dapatkan, dimana biasanya masyarakat menggarap tanah ulayat dengan waktu kerja yang mereka tentukan sendiri dan hasil yang memadai, kini mereka harus bekerja dengan waktu kerja yang seketat-ketatnya dan upah yang minimal( sekali lagi hal ini untuk memperbesar keuntungan perusahaan tersebut).
               Negara, yang sebenarnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyatpun tak bisa berbuat apa-apa, karena dalam system kapitalisme, Negara tidak berhak mencampuri pasar dan bahkan Negara harus melindungi dan mejamin keamanan perusahaan tersebut agar investasi tetap tertanam. Bahkan lembaga keamanan Negara (dalam hal ini militer) bukannya mengayomi dan membela masyarakat adat setempat karena tanahnya telah dirampas dengan cara licik oleh perusahaan tersebut, justru mengintimidasi masyarakat. Karena itulah banyak masyarakat yang tanah ulayatnya dikuasai oleh perusahaan swasta menggunakan caranya sendiri dalam mencapai kepentingan mereka, dan hal inilah yang menyebabkan konflik terjadi dimana konflik itu justru berakhir dengan kekerasan atau bentrokan yang bahkan merenggut korban jiwa (seperti kasus penembakan warga oleh brimob di Jambi[4]).

Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio



Sebelum kita mengetahui apa itu erzat kapitalisme atau kapitalisme semu, akan lebih baik bila kita mengetahui apa itu kapitalisme tulen. Yoshihara Kunio menyatakan bahwa kapitalisme tulen adalah kapitalisme yang berkembang dinamis di Eropa pada abad ke19 yang berhasil membawa kawasan tersebut keluar dari system feodal menuju kapitalis industrialis yang melahirkan kemajuan teknologi yang pesat dan kemajuan ekonomi yang sangat luar biasa. Inilah system yang juga berkembang di amerika Serikat, Jepang dan hasilnya pun sama dengan daerah Eropa, yaitu perkembangan teknologi dan peningkata ekonomi. Sedangkan kapitalisme ezrat adalah kapitalisme semu atau hanya merupakan subordinat dari negara ekonomi kuat sehingga bukanlah kapitalisasi yang berkembang berdasarkan perkembangan sector swasta negara tersebut,melainkan hanya merupakan perifikasi dari negara lain. Yoshihara Kunio menyatakan ada dua alasan kenapa ezrat kapitalisme terjadi di Asia Tenggara.
Yang pertama adalah campur tangan pemerintah yang tidak semestinya, Inggris pada abad ke19 yang merupakan awal perkembangan liberalisasi ekonomi melalui revolusi industrinya mendapatkan jaminan dari negara mengenai kebebasan ekonomi. Negara hanyalah bersifat wasit atau komisioner yang memastikan jalan pasar agar tetap disiplin. Berbeda di Asia Tenggara,campur tangan pemerintah yang bersifat berlebihan menghasilkan rente-rente birokrat , yang menghancurkan kebebasan berkompetisi dari system kapitalisme itu sendiri, birokrasi rente ini akan membuat persaingan yang  tidak sehat, karena adanya perlakuan khusus terhadap beberapa pengusaha (contonya kebangkitan pengusaha cina di Asia Tenggara).
Yang kedua adalah, kapitalisme di Asia Tenggara merupakan kapitalisme tingkat lanjut, dengan artian Asia Tenggara baru melakukan kapitalisasi setelah kapitalisasi di wilayah lain sudah melaju sedemikian jauh. Hal ini menyebabkan ketertinggalan teknologi. Sedangkan Marx menyatakan bahwa dasar dari kemenangan persaingan dalam kapitalisme adalah penguasaan teknolgi dalam membantu proses industry. Karena teknologi yang tinggi akan menghasilkan efisiensi dalam berproduksi, sehingga akumulasi nilai lebih dapat ditingkatkan.

Preemptive Attack dan Grand Strategy America Pada Masa George W Bush




Gary Hart menyatakan bahwa pada abad ke 20 perhatian terhadap keamanan mencapai puncaknya. Dimana isu itu tidak hanya berkutat pada permasalahan tradisional yaitu melawan kekerasan,kini termasuk menjadi isu keamanan hidup, keamanan komunitas, keamanan lingkungan dan keamanan terhadap masa depan anak-anak. Karena itulah bisa dinyatakan bahwa tujuan yang lebih luas bagi strategi Amerika adalah haruslah berpusat pada keamanan dari warga negaranya. [1]
Pada masa pemerintahan Geoge W Bush isu keamanan menjadi puncak dari penentuan kebijakan luar negeri Amrika, hal ini disebabkan karena serangan terorisme yang telah meluluh lantakan dua buah gedung kembar lambang supremasi kekuatan ekonomi Amerika, yaitu WTC. Dua buah pesawat sipil yang dibajak tersebut dan ditabrak ke gedung WTC tersebut telah menelan korban jiwa melebihi 3000 jiwa, dan untuk pertama kalinya keadigdayaan Amerika dicoreng oleh para teroris. Kehebatan militer yang selama ini digadang-gadangkan sebagai kekuatan militer terkuat didunia menemukan antitesanya justru didaerah territorial mereka sendiri. Skuadron F16, rudal balistik antar benua, hingga penguasaan pencitraan satelit yang membuat Amerika ditakuti oleh semua negara didunia justru kecolongan oleh sekelompok organisasi yang bahkan tidak memiliki satupun kendaraan perang. Masyrakatpun menjadi sadar bahwa keamanan mereka kini berada dalam ancaman serius.
Efek dari serangan tersebut telah merubah Grand theory Amerika pada saat itu. Jika pada awalnya adalah market-driven-empire menjadi military-driven-empire Atau dalam bahasa Mark Engler, kebijakan luar negeri Amerika berayun antara atas dua tipe: corporate-globalization dan imperial-globalization. Engler selanjutnya mengatakan, strategi corporate-globalization dengan tepat direpresentasikan pada masa pemerintahan Bill Clinton, sementara imperial-globalization, menonjol pada masa pemerintahan Bush Jr. Ilmuwan politik Joseph R. Nye, menyebut kebijakan luar negeri era Clinton sebagai kebijakan Soft Power, sementara era Bush, disebutnya sebagai kebijakan Hard Power.