Sabtu, 02 Juli 2011

Preemptive Attack dan Grand Strategy America Pada Masa George W Bush




Gary Hart menyatakan bahwa pada abad ke 20 perhatian terhadap keamanan mencapai puncaknya. Dimana isu itu tidak hanya berkutat pada permasalahan tradisional yaitu melawan kekerasan,kini termasuk menjadi isu keamanan hidup, keamanan komunitas, keamanan lingkungan dan keamanan terhadap masa depan anak-anak. Karena itulah bisa dinyatakan bahwa tujuan yang lebih luas bagi strategi Amerika adalah haruslah berpusat pada keamanan dari warga negaranya. [1]
Pada masa pemerintahan Geoge W Bush isu keamanan menjadi puncak dari penentuan kebijakan luar negeri Amrika, hal ini disebabkan karena serangan terorisme yang telah meluluh lantakan dua buah gedung kembar lambang supremasi kekuatan ekonomi Amerika, yaitu WTC. Dua buah pesawat sipil yang dibajak tersebut dan ditabrak ke gedung WTC tersebut telah menelan korban jiwa melebihi 3000 jiwa, dan untuk pertama kalinya keadigdayaan Amerika dicoreng oleh para teroris. Kehebatan militer yang selama ini digadang-gadangkan sebagai kekuatan militer terkuat didunia menemukan antitesanya justru didaerah territorial mereka sendiri. Skuadron F16, rudal balistik antar benua, hingga penguasaan pencitraan satelit yang membuat Amerika ditakuti oleh semua negara didunia justru kecolongan oleh sekelompok organisasi yang bahkan tidak memiliki satupun kendaraan perang. Masyrakatpun menjadi sadar bahwa keamanan mereka kini berada dalam ancaman serius.
Efek dari serangan tersebut telah merubah Grand theory Amerika pada saat itu. Jika pada awalnya adalah market-driven-empire menjadi military-driven-empire Atau dalam bahasa Mark Engler, kebijakan luar negeri Amerika berayun antara atas dua tipe: corporate-globalization dan imperial-globalization. Engler selanjutnya mengatakan, strategi corporate-globalization dengan tepat direpresentasikan pada masa pemerintahan Bill Clinton, sementara imperial-globalization, menonjol pada masa pemerintahan Bush Jr. Ilmuwan politik Joseph R. Nye, menyebut kebijakan luar negeri era Clinton sebagai kebijakan Soft Power, sementara era Bush, disebutnya sebagai kebijakan Hard Power.
Primacy Sebagai Grand Theory Amerika Pada Masa George W Bush
Primacy dapat bemotivasi kepada gabungan antara kekuatan dan damai. Namun penggunaan konfigurasi kekuatan adalah kunci utamanya : Strategi ini mempertahankan bahwa hanya kekuatan Amerika yang besar yang bisa menjamin kedamaian. Amerika harus mampu mengoperasikan seluruh keunggulannya, mengendalikan seluruh potensi tantangan dan membuat nyaman seluruh parner koalisi. Primacy focus pada apa yang terjadi saat ini dan bagaimana kemungkinan kekuatan besar kedepannya. Primacy bukan hanya mengiginkan suatu ikatan yang selektif namun juga berfokus kepada pemanajemenan hubungan antara kekuatan besar saat ini dan kemungkinan yang akan menuju hal tersebut. Objek dari primacy sendiri bukanlah untuk mewujudkan kedamaian  diantara kekuatan-kekuatan besar, melainkan memelihara supremasi Amerika secara politik, ekonomi, militer diatas penanatang global.
Karena itulah Amerika harus mampu mengendalikan ancaman-ancaman yang datang kepadanya sehingga hegemoni mereka dapat terus dijaga dalam dunia Internasional. Namun seiring berubahnya definisi ancaman itu sendiri dimana Simon Dalby menyatakan bahwa , dimensi keamanan dalam studi Hubungan Internasional telah mengalami pergeseran dari perspektif tradisional yang terbatas pada perang dan damai menuju perspektif nontradisional yang lebih mengedepankan human security dan mengandung lebih banyak aspek. Keamanan tidak lagi terfokus pada interstate relations, tetapi juga pada keamanan untuk masyarakat.
Bisa dikatakan Primacy merupakan suatu acuan teori dengan tujuan agar Amerika tetap memimpin dunia dengandengan menggunakan keunggulan-keunggulan yang ada untuk menekan tantangan global dengan lebih menekankan kepada penggunaan hard power
Penggunaan instrument ini dapat kita lihat saat Bush merespon aksi teorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Setelah mengutuk serangan tersebut. Bush dengan tegas meminta kepada Taliban (rezim yang berkuasa pada saat itu) agar Osama diserahkan kepada mereka, namun Taliban menolak hal tersebut dan menyatakan bahwa Osama berada dibawah perlindungan mereka. Karena doktrin inilah Bush memutuskan untuk mengambil langkah keras dengan penggunaan instrument militer. Invansi militer Amerika ke Afghanistan dimulai pada tanggal 7 Oktober 2001 dengan kode operasi bernama OEF (Operation Enduring Freedom).
Semenjak itu politik Internasional dipenuhi oleh issue penanggulangan terorisme secara global, Amerika seakan-akan menjadi pemimpin perang besar tersebut. Salah satu aplikasi dari Primacy dapat kita lihat disini, yaitu bagaimana Amerika berusaha untuk membawa isu ini menjadi isu global dan menggalang kerjasama negara-negara great power bersama mereka, contohnya adalah bagaimana NATO ikut dalam invansi Amerika baik di Afghanista maupun di Irak.
Amerika telah meningkatkan peranannya menjadi central command dalam pemberantasan Terorisme secara global. Kita dapat melihat hal itu dari banyaknya negara-negara yang menjalin kerjasama kontra terorisme dengan Amerika, seperti Pakistan, Indonesia, dan sebagainya. Namun kerjasama yang ada bukanlah kerjasama yang berasaskan kesetaraan, dapat dikatakan bahwa negara yang menjalin kerjasama dengan Amerika disebabkan takut disebut sebagai negara pendukung teroris dan mereka justru mejadi subordinat. Contohnya adalah Pakistan, pada saat penyergapan Osama beberapa waktu lalu, Amerika tidak meminta izin operasi kepada Pakistan, melainkan, Amerika tidak lagi menghormati kedaulatan Pakistan.
Semenjak peristiwa 11 september tersebut, kebijakan dalam negeri, kebijakan pertahanan dan keamanan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat langsung berubah. Sebagai negara super power, semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat secara tidak langsung akan berpengaruh pada politik internasional.
Pertama, Amerika Serikat dengan sikapnya yang keras serta power yang dimilikinya, seolah membagi dunia kedalam semacam struktur bipolar yang membuat negara-negara lain harus memilih berpihak kepada Amerika Serikat dengan ikut serta dalam pemberantasan terorisme ataukah berpihak kepada para terorisme yang berarti berlawanan dengan Amerika Serikat. Sikap Amerika Serikat tersebut sangat mempersulit negara-negara lain. Padahal bagi sebagian negara, ada hal yang lebih penting dilakukan demi kelangsungan hidup negaranya daripada sekedar memikirkan masalah terorisme.
Kedua, peristiwa 11 september telah membuat Amerika Serikat tidak lagi memikirkan masalah demokrasi dan penegakan hak asasi manusia yang saat itu menjadi isu yang besar dalam dinamika internasional. Amerika Serikat cenderung memfokuskan diri hanya kepada pemberantasan terorisme.
Ketiga, peristiwa 11 september juga membuat memburuknya hubungan antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim ataupun negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Hal ini karena adanya kecendrungan yang mengaitkan islam dengan aksi terorisme. Sejak saat itu hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara muslim terlihat sulit. Begitupun dengan negara muslim itu sendiri, mereka menjadi sulit mengambil sikap antara memberantas teroris dan bekerjasama dengan Amerika Serikat atau memilih menjaga hubungan dengan kelompok-kelompok lokal yang berbasis islam. Dan hal ini sangat menyulitkan Negara-negara Muslim.
Keempat, dalam mengantisipasi kemungkinan aksi terror yang lebih besar, Amerika Serikat dengan kekuatannya memilih untuk mengantisipasinya dengan memberikan hak penuh kepada dirinya untuk sendiri untuk mengambil tindakan cepat apabila terdapat sesuatu yang mencurigakan  yang dapat mengancam kepentingannya (doktrin preemption). Doktrin ini membuat resah Negara-negara yang ada didunia. Mereka menakutkan akibat yang dapat ditimbulkan oleh sikap Amerika Serikat yang dapat mengubah tatanan politik internasional.
Kelima, semenjak peristiwa 11 september, Amerika Serikat menjadikan kekuatan militernya sebagai kekuatan penuh dalam memberantas setiap aksi terorisme guna menjaga keamanan dan pertahanannya serta melindungi kepentingan-kepentingan negaranya. Langkah nyata dari sikap Amerika Serikat tersebut adalah dengan adanya penyerangan militer Amerika Serikat ke Afghanistan dan invasi Amerika Serikat ke Iraq.

Kejadian 11 september telah membutakan mata Amerika Serikat, fokus Amerika Serikat hanya kepada pemberantasan kelompok-kelompok yang dianggapnya sebagai teroris dan bukannya mencari penyebab dan cara menghilangkan terorisme itu sendiri.
Selain dari penjelasan di atas, efek dari peristiwa 11 september yang mewarnai percaturan politik internasional sejak tahun 2001 adalah kecenderungan uniteralisme Amerika Serikat yang makin kuat dan pada gilirannya makin melemahkan kredibilitas PBB di mata masyarakat internasional. Hal ini sungguh ironis karena PBB yang pembentukannya disponsori oleh Amerika Serikat sendiri guna menciptakan perdamaian dunia, kini justru menjadi lembaga internasional yang tak ada artinya di mata Amerika Serikat dan dunia. Sebabnya ialah uniteralisme Amerika Serikat menjadi sumber utama merenggangnya hubungan Washington dengan para sekutu utamanya di Uni Eropa, khususnya Perancis dan Jerman, yang sejak awal menolak invasi ke Irak. Jadi, tantangan terhadap uniteralisme Amerika Serikat tak saja lantaran berkaitan dengan operasi militer atau aspek hukum internasional, melainkan juga karena kepentingan ekonomi negara-negara sekutu Amerika Serikat sendiri yang ikut dirugikan.










[1] Hart, Gary. The Fourth Power ( A Grand Strategy For The United States in Twenty-First Century). New York, Oxford Press 2004, hal 65

1 komentar:

  1. Kapan lagi anda punya kesempatan??
    Cuma dengan modal 20K anda akan menjadi JUTAWAN!!!
    Ajak teman anda bergabunglah bersama kami di DEWALOTTO
    Link Alternatif : dewa-lotto.com
    Note : Nomor Official whatsapp kami hnya tertera di dalam website
    selain itu bukan nomor whtsapp DEWALOTTO
    Silahkan di kunjungi ya teman teman 100% Memuaskan

    BalasHapus