Jumat, 09 November 2012

Zapatista dan Buah Apel

Durito bilang hidup itu seperti apel.
Dan ia bilang ada orang yang makan apel hijau, apel busuk, dan sebagian makan apel masak.
Durito bilang ada beberapa orang, sedikit sekali, yang bisa memilikh bagaimana mereka mau memakan apelnya: dalam salad buah yang cantik, dalam pure, dalam salah satu minuman sari apel yang dibenci itu (oleh durito), dalam jus, dalam kue, dalam biskuit, atau dalam apapun yang didiktekan ilmu tata boga.
Durito bilang masyarakat adat wajib memakan apel busuk dan kaum muda disuruh mencerna apel hijau, anak-anak dijanjikan apel yang cantik seraya diracuni dengan ulat-ulat kebohongan, dan kaum perempuan diberitahu mereka akan mendapatkan sebutir apel padahal yang mereka peroleh hanyalah jeruk separuh.
Dan Durito bilang hidup itu seperti apel.
Dan ia bilang juga bahwa seorang Zapatista, ketika disodori sebuti apel, meraut fajar dan mengiris apel itu, dengan sabetan yang jitu, jadi dua.

Kisah Seuntai Awan Kecil

Alkisah, hiduplah sebuah awan yang sangat kecil dan ssangat kesepian dan biasa berkeliaran jauh-jauh dari awan besar. Ia sangat kecil, nyaris tak sampai seuntai. dan manakala awan-awan besar menjadikan diri mereka hujan untuk mengecat hijau pegunungan, si awan kecil akan terbang mendekat menawarkan jasanya. Tapi mereka mengoloknya karena ia begitu kecil
"Kau tak punya apa-apa buat diberikan," awan-awan besar biasa memberitahunya."Alangkah kecilnya dirimu.".
Mereka mengoloknya menjadi-jadi. Lantas, dengan sangat sedih si awan kecil mencoba menyingkir ketempat lain untuk menjadikan dirinya hujan, tapi kemanapun ia pergi, awan-awan besar medesaknya minggir. Maka si awan kecil pergi lebih jauh lagi sampai ia tiba di tempat yang sangat kering kerontang, saking keringnya sampai tak satu dahan pun tumbuh, dan si awan kecil berkata pada cerminnya (aku lupa memberitahumu bahwa si awan kecil ini membawa cermin kemana-mana agar ia bisa dengan dirinya sendiri saat sedang bosan).

Minggu, 03 Juni 2012

Gigs Menolak Diam II (feat Milisi Kecoa)

Beberapa alasan saya saat ini jarang berinteraksi di dunia maya adalah saya sedang semangat-semangat nya bergiat di scenan tempat saya biasa nongkrong, yaitu Damar Union Boys, sebuah scenan D.I.Y yang selalu mengupayakan indepedensi dalam setiap kegiatannya, salah satu kegiatan yang baru saja dilakukan adalah sebuah gigs hardcore punx collective yang kebetulan mendatangkan salah satu band HC punk asal kota kembang bandung: yaitu Milisi Kecoa. berikut beberapa gallery pictures dari acara tersebut, semua foto ini bukanlah hasil jepretan saya, dan dibagikan bukan untuk tujuan komersil. bagi teman-teman yang ingin mengetahui gigs reportnya silahkan chek diblog white collar crime, daat dilihat diblog roll di blog ini




Soekarno Berbicara Tentang Marx

Lama tidak menulis dan mengisi blog ini...begitu banyak kesibukan didunia nyata membuat saya sedikit melupakan blog ini. Kali ini saya tidak akan memposting tulisan yang saya buat sendiri, saya tertarik untuk memposting sebuah tulisan dari bapak bangsa yaitu Ir.Soekarno mengenai memoar 50 tahun meninggalnya Karl Marx, seorang tokoh yang saat ini dihujat tulisan-tulisannya sebagai dasar atheisme dan dilarang untuk dibaca di Indonesia. Terlepas dari isu komunisme yang dan fitnahan amoral pemerintah  terhadap karya-karyanya, ternyata bagi Soekarno,Marx adalah salah satu tokoh penggerak yang membongkar sistem yang mengeksploitasi a.k.a kapitalisme yang patut dikagumi.Tulisan ini terdapat didalam buku beliau yang berjudul di Di Bawah Bendera Revolusi, sebuah buku yang bagi saya harus dibaca seluruh generasi muda Indonesia, agar kita menjadi generasi muda yang kritis, mandiri dan berani berdiri dikaki sendiri.

MEMPERINGATI 
50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX
oleh : Ir. Soekarno

F.R yang sekarang ini adalah mendekati 14 Maret 1933. Pada hari itu, maka genap 50 tahun telah lalu, dimana Karl Marx menutup matanya untuk selama-lamanya.
Marx dan Marxisme!.
Mendengar perkataan ini, maka tampak suatu bayangan dipenglihatan kita dimana berduyun-duyun kaum yang melarat dari segala bangsa dan negeri, bermuka pucat dan berbadan kurus, dengan pakaian yang sobek : tampak pada angan-angan kita dirinya pembela dan kampiun simelarat tadi seorang ahli fikir yang berketepan hati dan tindakannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng kuno Jerman yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang "geweldig", yang sesungguh-sungguhnya bernama "datuk" pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx.

Titip Surat Untuk Ayah


Kepada YTH
Ayahanda
Melalui surat ini kusampaikan permintaan maafku pada ayah. Maaf aku tidak pernah bisa jadi anak baik seperti manifesto dongeng yang ayah ceritakan sebelum tidurku, aku masih saja menjadi begundal yang mencoreng muka ayah, dan bukan bahan yang menarik untuk dibicarakan dikomunitas orang tua kebanyakan. Maafkan aku yang mengambil aksi berbeda dengan provokasi ayah, yang selalu berkata coba lihat anak sifulan, sekarang dia bekerja di koorporasi kapitalis ini, baru bekerja beberapa bulan saja sudah bisa membeli ini, memberikan pada ayahnya ini dan itu. Maafkan aku ayah bila megambil arah yang selama ini ayah katakan merupakan jalan mereka yang telah kehilangan akal sehat.
Bagiku ada yang lebih berharga daripada kemapanan, yaitu kebebasan
ada yang lebih berharga daripada kekayaan, yaitu kesama rataan
ada yang kebih berharga daripada kemasyuran, yaitu kebenaran
ada yang lebih berharga daripada kemenangan untuk diri sendiri, yaitu keikhlasan 
ada yang lebih berharga daripada hidup aman dan berkecukupan, yaitu pembangkangan terhadap ketidak adilan

Senin, 05 Maret 2012

Memaknai Kembali Demokrasi

Secara epistimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “demos” dan “kratos”, dimana demos artinya rakyat dan kratos berarti kekuasaan, jadi bila diartikan secara epistimologi maka demokrasi berarti kekuasaan rakyat. Konsep mengenai demokrasi sebenarnya merupakan konsep yang telah lama sekali ditemukan, yaitu pada abad ke 5 SM di Athen pada Negara kota Yunani kuno, namun penggunaan kosep ini mulai dipergunakan lagi pada zaman modern pada abad ke 18 hingga saat ini. Samuel P Huntington menyatakan bahwa sebagai suatu pemerintahan , demokrasi telah didefinisikan berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintahan. Hal ini ditambahkan oleh Schumpeter yang mengidentifikasikan demokrasi dengan instilah “kehendak rakyat ( the will of the people) “ (sumber) dan “ kebaikan bersama ( the common good ). (Samuel P Huntington, 4).
Banyak pemikir yang berusaha mengdefinisikan demokrasi dengan bahasa mereka sendiri. Definisi demokrasi yang paling terkenal mungkin adalah pengertian demokrasi oleh Winston Churchil, yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat. Sedangkan Thomas Meyer menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu system kekuasaan yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak azazi manusia dan penegakan hukum secara independen. Dimana Meyer selanjutnya menambahkan bahwa demokrasi merupakan system yang paling efektif dan ideal sebagai perlindungan terhadap penindasan Negara dan kekuasaan rakyat yang tidak terkendali. Memiliki rasa aman dari berbagai ancaman seperti penindasan, hilangnya kebebasan, pelanggaran terhadap kebutuhan kondisi fisik seseorang serta hak untuk mengungkapkan dan mempertahankan kepentingan hidup individu bersama-sama orang lain merupakan kebutuhan manusia  yang paling mendasar. Dan perlindungan dari hal-hal seperti itu, dikatakan Meyer sebagai suatu tujuan demokrasi sebagai Negara hukum.( Thomas Meyer, 1)
Demokrasi menemukan tempatnya saat masyarakat telah muak dengan sistem yang tidak merepresentasikan mereka, saat Negara yang bertugas melindungi dan mengayomi mereka justru berubah menjadi alat bagi kelas-kelas yang berkuasa untuk mencapai kepentingan mereka dan tidak adanya partisipasi public disana. Karena itulah muncul suatu gagasan bahwa rakyat harus menentukan nasibnya sendiri dan setiap keputusan yang dibuat merupakan kehendak bersama rakyat.
Dalam perkembangannya sistem demokrasi menjadi suatu gelombang besar pada tahun 1974,dengan tumbangnya pemerintahan diktator Portugal, menyusul 3 bulan kemudian rezim militer di Yunanipun mengalami nasib serupa disusul dengan berdirinya pemerintahan sipil yang demokratis di spanyol pada tahun 1974, gelombang tersebut berlanjut menyapu pemerintahan otoriter militer dan monarki kerajaan di wilayah Eropa selatan, Amerika Latin dan Asia. Selanjutnya gelombang demokratisasi berlanjut pada tahun 1980-an kali ini giliran Negara-negara komunislah yang disapu oleh gelombang demokratisasi. 1988, Hongaria menganut sistem multipartai, dan merembet kenegara-negara Baltik lainnya dan berakhir di Haiti pada tahun 1990. Selanjutnya pada dasawarsa 1990an demokratisasi juga kembali terjadi di Negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina (Samuel P Huntington, ibid 22-27). Dan baru-baru ini gelombang demokratisasi kembali terjadi, kali ini masyarakat sipil Negara-negara Timur Tengahlah yang meminta hak mereka akan kebebasan berpendapat dan mengatur diri mereka, peristiwa ini dikenal dengan sebutan revolusi melati yang bermula di Tunisia.

Demokrasi dan Realitas Hari Ini
Secara garis besar dapat kita nyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam perpolitikan suatu Negara, dan seluruh keputusan yang diambil oleh pemerintah haruslah representasi dari keinginan rakyat (collective decision) . Namun realitas yang ada tidaklah demikian. Demokrasi yang berkembang saat ini merupakan demokrasi yang berstandar ganda, hak-hak rakyat dikebiri dan Negara masih tetap menjadi alat bagi para kelas kapital untuk mencapai kepentingannya. Patricia Nanz dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa meskipun Negara-negara yang mengaku demokratis telah menerapkan beberapa prinsip-prinsip demokrasi seperti pemilihan umum, kebebasan menyampaikan pendapat dan berpolitik (Patrcia Nanz dan Jens Steffek, 3) . Partai-partai politik yang begitu banyak, LSM-LSM yang bergerak disegala bidang. Hal ini tidak menutupi bahwa sebenarnya rakyat begitu terasing dengan Negara. Rakyat memang memilih orang-orang yang akan mewakili mereka dipemerintahan melalui lembaga legislative ( atau sering kita sebut sebagai wakil rakyat yang akan bertugas di Dewan Perwakilan Rakyat), namun segala kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak melibatkan mereka dalam perumusannya, ironis mereka yang dulu diberikan amanah oleh rakyat untuk memimpin mereka justru berubah mejadi sosok yang eklusif dan tidak membumi (saya mersakan sendiri pengalaman ini saat ikut demonstrasi di kantor DPRD salah satu kota di Indonesia, saat itu tujuan kami hanyalah ingin berdialog dengan mereka yang mengaku “wakil rakyat”, namun tidak ada satupun dari mereka yang datang menemui kami, rakyat yang  memberikan amanah itu pada mereka).
Selain itu, faktor globalisasi menyebabkan Negara semakin lemah akibat semakin terintegrasinya semua faktor dengan Negara lain, dimana hal ini akan menyebabkan saling ketergantungan suatu Negara dengan Negara-negara lain, sehingga muncul suatu otoritas baru yang berada diatas negara yaitu rezim-rezim Internasional yang berbentuk instuitusi-institusi seperti IMF (International Monetery Fund) World Bank, WTO (World Trade Organization) karena itulah kebijakan yang dibuat oleh Negara seringkali didertiminasi oleh kepentingan rezim tersebut. Untuk mempermudah memahami hal ini mari kita ambil contoh dengan yang terjadi di Yunani saat ini, rakyat Yunani yang menderita akibat negaranya sedang megalami krisis dan diambang kebangkrutan justru mendapatkan kenyataan pahit dengan kebijakan pemerintah yang memotong anggaran dana sektor publik, karena mengikuti saran IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia.
Patrician Nanz menyatakan bahwa rezim internasional yang ada begitu terasing dari masyarakat suatu Negara. Dengan prosedur pengambilan keputusan yang tidak tertembus public dan hanya didominasi oleh diplomat,para birokrat dan staf-staf ahli. Mereka berkumpul dalam ruang tertutup dan tidak ada satupun kelompok yang kepentingan dilevel civil society yang hadir dan ikut serta dalam pertemuan tersebut. ( Patricia Nanz,i.bid hal 5).
Realitas demokrasi yang terjadi saat ini bukanlah demokrasi yang berasal dari bawah (masyarakat akar rumput) dimana kebijakan yang ada bukanlah rancangan rakyat melainkan para elit-elit birokrat (bahkan rezim internasional) sehingga rakyat hanyalah penonton dan wajib mematuhi (meskipun tidak terlibat dalam pembuatan) segala kebijakan tersebut ,tidak adanya ruang publik dalam mengambil kebijakan (meskipun ada hak masyarakat hanya untuk berbicara dan memilih dalam pemilihan umum), dan akses informasi yang sangat susah didapatkan.


Sebuah Otonomi atau Otoritas?

Kami katakan “CUKUP SUDAH!!” bagi mereka
yang ingin mengendalikan rakyat .
Elcommadante Samuel
-Zapatista-

Demokrasi yang bukan berasal dari akar rumput telah banyak mendapat tentangan saat ini. Pada tahun 1994 jutaan masyarakat adat Mexico memutuskan turun kejalan untuk menentang implementasi NAFTA (Noerth American Free Trade Area) yang akan menggusur tanah-tanah adat mereka protespun terjadi tepat dijantung pusat demokrasi dihembuskan, masyarakat Seattle turun kejalan untuk menentang keputusan pemerintahan Amerika yang menginvansi Irak, masyarakat Yunani memutuskan untuk kejalan dan memperjuangkan hak mereka sendiri, saat nasib mereka tidak lagi diperjuang oleh pemerintah yang memutuskan untuk mengorbankan mereka dengan pencabutan anggaran sector public karena kegagalan para bankir dan pialang saham mereka dalam berspekulasi. Selain itu gerakan-gerakan perlawanan juga terjadi diberbagai Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Filipina, Thailand, India, dan Indonesia.
Hal ini tentu membuat kita bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan sistem demokrasi saat ini. Kenapa suara-suara rakyat hanya berlaku saat pemilu dan tidak dalam perumusan kebijakan? Kenapa rakyat yang turun kejalan untuk menyuarakan suaranya justru dihadang oleh aparat-aparat keamanan Negara yang sebenarnya bertugas untuk menjaga keamanan mereka? Mengapa mereka yang berjalan bersama kegedung-gedung legislative untuk bertemu wakil mereka seringkali tidak digubris?
Untuk menjawab hal tersebut saya ingin membawa anda pada dua konsep kekuasaan yang dijabarkan oleh anarkisme (ups jangan berpikiran buruk dulu, anarkisme yang ingin saya jabarkan bukanlah situasi chaos dan tidak terkendali yang selama ini dilekatkan khalayak kepada paham ini. Namun lebih kepada konsep bagaimana membangun organisasi sosial tanpa hirarki, dan saya tidak mengajak anda untuk menghancurkan Negara saat ini J). Anakisme menyatakan ada dua konsep kekuasaan yang pertama adalah  otoritas (Authority), otoritas dapat dimaknai sebagai hak untuk menyuruh atau sebuah hak untuk dipatuhi, dalam bidang politik otoritas berarti memberikan kekuasaan penuh kepada institusi-institusi politik yang ada untuk mengontrol para anggota yang bernaung didalamnya . Inilah kekuasaan dari atas kebawah, dimana kita hanya memilih wakil kita dipemerintahan (perwakilan) dan merekalah yang akan membuat segala kebijakan dan mempunyai hak mutlak untuk dipatuhi.
Yang kedua adalah konsep otonomi, dimana rakyat akan menolak setiap peratruran yang bukan berasal dari mereka, konsep otonomi dapat kita katakan sebagai konsep bagaimana mengorganisir orang-orang disekeliling kita dan membentuk komunitas-komunitas kecil dimana komunitas tersebut akan mengatur diri mereka sendiri. Peraturan akan dibuat dalam rapat komunitas, dimana hak dan kewajiban suara seluruh orang adalah sama, tidak ada hirarki disini, semua orang adalah pemimpin dan seluruh orang dipimpin oleh kepentingan umum. Selanjutnya komunitas-komunitas tersebut akan berjejaring dengan komunitas lainnya dibawah satu payung federasi.
Melalui diskusi ini kami mengajak anda semua untuk memikirkan kembali demokrasi yang terjadi saat ini, apakah memang suitable untuk dipergunakan ataukah mesti kita kritisis kembali? (ato mungkin Negara Negara kita ganti aja ama federasi gan…supaya kita tidak dipukuli aparat saat memprotes para elit yang berlindung dibalik payung hukum dan stabilitas Negara)

Sumber bacaan:
Huntingtong, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta:Pt. Pustaka Utama Grafiti 1995
Marcos, Subcommadante. Kata Adalah Senjata, Yogyakarta: Resist Book 2006
Wolff, Robert Paul. In Defense of Anarchism,New York : Harper Colophon ,1970
Nanz,Patricia dan Jens steffek. Global Governance,Participation an The Public Sphere. UK: Black Wheel Publishing.2004

Catatan ini merupakan bahan pengantar diskusi Sekolah Pembebasan Magenta (SPAM)..

Sabtu, 02 Juli 2011

Sebuah Kisah Dari Rimba Kapitalisme


Jangan mengira masyarakat Pasaman Barat makmur. Begitulah kira-kira judul sebuah berita media online yaitu puaiiliggoubat.com  pada tanggal 9 Juni 2010[1]. Media itu menyatakan bahwa yang diuntungkan dengan dibukanya lahan sawit dengan menjual tanah ulayat masy setempat bukanlah masyarakat itu melainkan pemilik perusahaan dan pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari pemaparan Ujang alias zulkifli (35) salah satu masyarakat adat diPasaman Barat,seperrti yang dituturkan pada puaiiliggoubat.com :
Jangan salah menilai, yang kaya oleh sawit bukan warga Pasaman Barat, tapi tentara, polisi, dan para pejabat, termasuk bupatinya. Mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk menjaga kepentingan perusahaan, itulah yang makmur oleh sawit. Masyarakat? Tidak, mereka harus puas jadi budak perusahaan yang harus menghabiskan hari-harinya di kebun sawit sepanjang waktu dengan upah seadanya dan hutang yang terus menumpuk, selain membenturkan masyarakat dengan aparat, sehingga banyak anggota masyarakat yang terbunuh atau dipenjara, perusahaan juga tak segan-segan mengintimidasi penduduk. “Brimob bahkan membuka areal pelatihan di situ untuk menakut-nakuti masyarakat, selain polisi, tentara dan pejabat, perusahaan juga menggunakan preman-preman untuk mengawasi dan menjaga perusahaan dari protes masyarakat, apa makmurnya hidup begitu?”[2] Konflik tanahpun pernah membuat warga Pasaman Barat penyegel perusahaan sawit asal Malaysia yaitu PT.Laras Inti Nusa. Konflik disebakan oleh penyerahan tanah yang tidak beres. [3]
               Melalui pemaparan diatas maka dapat kita lihat penyebab konflik adalah adanya perubahan sistem berproduksi masyarakat setempat terhadap tanah ulayat. Jika kita sebut tanah ulayat adalah sebuah factor produksi masyarakat, maka sejak tanah tersebut telah dialih fungsikan kepada lahan sawit dan lahan sawit dimiliki oleh swasta,maka masyarakat setempat telah kehilangan haknya terhadap factor produksi, sebelumnya tanah ulayat merupakan suatu lahan pertanian yang digarap bersama-sama oleh kaum tersebut, dimana pembagian kerja didasarkan atas kemauan serta kemampuan dari masing-masing orang dalam kaum dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan kaum pemilik tanah tersebut maka kini konsep itu tidak bisa lagi dipakai. Karena saat lahan itu telah menjadi milik perusahaan swasta maka system berlaku adalah system kapitalisme. Kini perusahaanlah  yang menentukan berapa banyak orang dari kaum tersebut untuk dapat bekerja didalam kebun sawit tersebut. Masyarakatpun tidak bisa lagi bebas menentukan divisi kerja mereka, karena hal itu telah ditentukan oleh perusahaan, kini pembagiaan kerja adalah berdasarkan skill yang dimiliki , dan umumnya masyarakat setempat yang mempunyai latar belakang bertani dan sama sekali buta terhadap indusrti sawit akan menjadi buruh didalam perusahaan tersebut (karena dalam system kapitalisme para pemilik modal bebas untuk merekrut tenaga kerja darimanapun semau mereka, maka untuk teknisi industri mereka akan memilih untuk mengambil lulusan unversitas untuk menghemat modal dengan memberi pendidikan masyarakat setempat mengenai industri sawit)
               Mengenai upahpun, bila masyarakat biasanya membagi hasil dari tanah ulayat sesuai kesepakatan kaum (biasanya pembagian sama rata atau perbedaan pembagian tidak terlalu mencolok) kini upah mereka diatur oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Maka perusahaan akan memberikan upah hanya sekedar agar para buruhnya dapat bertahan hidup dan tidak menurunkan nilai kerja mereka untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Karena itulah masyarakat merasa tidak sepadan apa yang telah dia kerjakan dengan apa yang mereka dapatkan, dimana biasanya masyarakat menggarap tanah ulayat dengan waktu kerja yang mereka tentukan sendiri dan hasil yang memadai, kini mereka harus bekerja dengan waktu kerja yang seketat-ketatnya dan upah yang minimal( sekali lagi hal ini untuk memperbesar keuntungan perusahaan tersebut).
               Negara, yang sebenarnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyatpun tak bisa berbuat apa-apa, karena dalam system kapitalisme, Negara tidak berhak mencampuri pasar dan bahkan Negara harus melindungi dan mejamin keamanan perusahaan tersebut agar investasi tetap tertanam. Bahkan lembaga keamanan Negara (dalam hal ini militer) bukannya mengayomi dan membela masyarakat adat setempat karena tanahnya telah dirampas dengan cara licik oleh perusahaan tersebut, justru mengintimidasi masyarakat. Karena itulah banyak masyarakat yang tanah ulayatnya dikuasai oleh perusahaan swasta menggunakan caranya sendiri dalam mencapai kepentingan mereka, dan hal inilah yang menyebabkan konflik terjadi dimana konflik itu justru berakhir dengan kekerasan atau bentrokan yang bahkan merenggut korban jiwa (seperti kasus penembakan warga oleh brimob di Jambi[4]).