Jumat, 06 Mei 2011

Mengetuk Pintu Yang Terbuka I (The Origin Of Capitalism)

Tulisan ini merupakan tulisan yang saya sampaikan dalam rapat konsolidasi komunitas MasyarakatGerilyawan Kota (MAGENTA) dimana saya tergabung didalamnya, dan saya berpikir mungkin akan berguna bagi rekan-rekan yang lain, karena dalam tulisan ini saya mendefinisikan kapitalisme dan hal-hal yang diperlukan untuk melawannya, karena tulisan yang terlalu panjang dan sulit bila dibaca dalam satu halaman maka tulisan ini akan saya bagi menjadi 2 bagian yang terintegrasi satu sama lainnya, semoga ini dapat menjadi suatu tambahan referensi bagi kita semua untuk tetap dalam barisan sadar dan menentang kapitalisme..akhir kata selamat membaca :-)



Mengetuk Pintu Yang terbuka
Kita Tidak Sendirian, Kita Satu Jalan
Tujuan Kita Satu Ibu : Pembebasan!!
Tujuan kita satu ibu-Widji Thukul[1]

Secara garis besar kapitalisme dapat kita artikan sebagai pengakuan hak-hak kepemilikan pribadi dan kebebasan kepemilikan mode produksi oleh sekelompok orang saja. Sehingga terbentuklah dua kelas masyarakat, yaitu borjuis (mereka yang memiliki modal) dan Ploretar (kelas pekerja, yaitu mereka yang tidak memiliki mode produksi)[2]. Bagi mereka yang tidak memiliki mode produksi maka tidak akan memiliki akses untuk berproduksi, sehingga untuk tetap melengkapi kebutuhan hidup mereka untuk dapat tetap bertahan hidup maka para kelas pekerja akan menawarkan diri mereka para borjuis untuk melakukan proses produksi dan dibayar untuk itu. Namun dengan kekuatan ekonominya para borjuasi cenderung melakukan eksploitasi terhadap para ploretar, melalui pembayaran hasil kerja yang sangat rendah dan tidak sesuai dengan apa yang telah dihasilkan oleh para ploretar. Para borjuasi akan berusaha semaksimal mungkin melakukan efisiensi agar mereka dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya.

Sistem produksi seperti ini akan menyebabkan suatu ketidak adilan sosial, system ini akan membuat para borjuis mengejar egoistik kepentingannya dirinya sendiri,dimana mereka yang berkontribusi sangat sedikit dalam proses produksi namun mendapatkan lebih banyak dengan legitimasi bahwa mereka memiliki faktor prdoduksi.  Dan mereka yang telah membanting tulang dan memeras keringat untuk menghasilkan komoditas hanya mendapatkan pembagian sangat sedikit dari hasil kerja mereka, untuk memperjelasnya saya akan menggunakan contoh kasus dibawah ini:



·         Seorang buruh sawit di Pasaman, yang bekerja setiap hari dalam satu bulan hanya mendapatkan pembayaran yang sangat sedikit, mereka hidup dibawah garis kemiskinan dan seringkali berhutang pada akhir bulan untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka, sedangkan para pemilik kebun, hanya datang 1 kali satu bulan dan mereka mendapatkan pembayaran yang cukup untuk membeli sebuah mobil baru dalam waktu yang sama.[3]


Begitu memiriskan, mungkin itu kata yang akan kita lontarkan melihat bagaimana kapitalisme telah membuat manusia menindas manusia lainnya dengan menghilangkan moralitas dan mengganti nilai manusia sebagai makhluk organis menjadi makhluk yang mekanis, yang mebuat hubungan antar manusia tidak lagi menjadi hubungan sosial, melainkan hubungan fungsional[4], yang hanya berguna untuk kepentingan mereka. Sistem inilah yang menghasilkan plutocratic society yaitu masyarakat parasit yang kerjanya menghisap masyarakat lainnya demi mendapatkan untung yang sebesar-besarnya, dan menciptakan suatu jurang sosial dengan gaya hidup mereka yang mewah,sementara orang disekitar mereka untuk mencukupi kebutuhan makan mereka saja sulit.[5]

Karena itulah perlu bagi kita untuk melawan system ini agar tragedy kemanusiaan tidak terus berlanjut dan system produksi yang tidak adil dapat diakhiri. Sehingga kesejahteraan sosial dapat terdistribusikan dengan rata,dan dapat menciptakan suatu mode produksi yang adil dan tidak ekpolitatif lagi.Suatu system yang tidak mengasingkan hakikat bekerja sebagai suatu wadah ekspresi diri.

Namun akan muncul pertanyaan selanjutnya dibenak kita, bagaimana mungkin system yang begitu jahat ini dapat diterima sebagai suatu common sense yang berlaku tidak hanya dalam satu negara melainkan hampir diseluruh dunia ? bagaimana mungkin eksploitasi dianggap suatu hal yang lumrah dan tidak mendapat perlawanan?


Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadikan suatu wacana menjadi common sense  dilakukan melalui instrument suprastruktur, contohnya adalah budaya dan ideolgi. Dimana wacana-wacana mode produksi kapitalisme diinjeksikan kedalam suprastruktur masyarakat melalui penguasaan pemikiran masyarakat sehingga mereka akan berpikir bahwa model produksi seperti ini adalah suatu hal yang logis dan memang mengintepretasikan suatu model yang ideal saat ini.[6]

Namun itu tidaklah cukup untuk membuat masyarakat menerima terus menerus system ini, karena lambat laun masyarakat akan sadar dan merasakan keterasingan mereka dari hakikat sosialnya. Untuk itu kapitalisme dipelihara dengan selimut kedamaian-kedamaian palsu, sehingga masyarakat teralienasi dan tidak menyadari keterasingan mereka dari realitas sosial dengan pembentukan post-realitas[7] dengan menanamkan nilai-nilai symbol sebagai suatu tolak ukur nilai sosial dengan mengkomodifikasi segala hal. Karena itulah masyarakat dibuat terasingkan dari dunia sosialnya dan menjadi konsumptif karena hubungan sosial bukan lagi interaksi manusia berdasarkan kesamaan minat dan perhatian melainkan berdasarkan komoditas-komoditas yang menjadi nilai symbol sosial saat itu (contohnya adalah bagaimana sebagian masyarakat kita saat ini sibuk membeli hal-hal yang dianggap kekinian, seperti HP Blackberry, Kendaraan terbaru serta fashion terbaru yang dianggap sebagai syarat diterima dalam suatu interaksi sosial). Masyarakat tidak lagi berpikir bagaimana caranya memperbaiki permasalahan sosial yang ada melainkan sibuk saling bersaing agar dapat membeli symbol-simbol sosial sehingga posisi tawar mereka dalam interaksi sosial dapat terus terangkat, dan ekspolitasi kapitalisme tidak lagi menjadi suatu permasalahan lagi.


[1] Thukul,Widji. Aku Ingin jadi Peluru. Indonesia Tera. 2000
[2]  Magnis Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis Keperselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama, 2001
[4] Ibid,hal 78
[5] Simon, Roger. Gramsci Political Thought, An Introduction. London:  Elec book..1999
[6] Ibid, 23
[7] Sebuah konsep yang dikemukakan Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Post-Realitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar